Banjir adalah salah satu masalah
klasik di Indonesia. Hampir setiap musim penghujan banjir melanda sejumlah
daerah di negeri ini. Banjir terjadi karena debit air melebihi penampungnya
sehingga air harus meluap dan merendam daerah sekitarnya. Bicara banjir tentu
yang fenomenal adalah ibukota negeri ini, DKI Jakarta. Istana presiden pun
sempat dikunjungi banjir di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kota metropolitan ini hampir
tidak pernah absen dari yang namanya banjir setiap tahunnya. Dari era penjajahan
Belanda sampai era Jokowi-JK. Sikap warga ibukota yang terkesan ogah membuang sampah pada tempatnya ini menjadi
penyebab utamanya. Saya ambil contoh yang mudah, saat perayaan pergantian tahun
2015 yang diselenggarakan secara akbar di ibukota ini, hampir tidak ada orang
yang menyimpan sampahnya dalam tas mereka. “Ga ada tempat sampah, lagian juga
paling besok dibersihin sama petugasnya” begitu katanya. Saya akui, tempat
sampah di ibukota jarang ditemui, namun bukan berarti tidak ada, kalau memang
ingin lingkungannya bersih bukankah bisa menyimpan sejenak sampah itu kemudian
membuangnya saat menemukan tempat sampah?
Kembali kepada banjir, daerah di
ibukota yang paling rawan banjir adalah Jakarta utara. Wilayah yang satu ini
terletak paling utara Jakarta dan dekat dengan pantai, wilayah yang seharusnya
menjadi rawa bermetamorfosis menjadi pemukiman warga. Bagaimana banjir tidak
melanda? Yang harusnya menjadi daerah penyerap air saat hujan tiba, malah tidak mampu menerima sedikit
gerimis saja. Dan saat banjir melanda, “Pemerintah gimana sih? Nyelesain banjir
aja ga bisa!”. Pak, bu, ini banjir yang buat siapa?
Menyalahkan orang lain memang
bakat kita, inilah kenapa ada pepatah “semut di seberang jalan terlihat, gajah
di pelupuk mata tak terlihat”. Kalau saja ada kesadaran diri, insyaallah banjir
tidak lagi melanda ibukota. Lalu solusinya? Solusi menanggulangi banjir, ini
berarti tentang apa yang harus kita lakukan saat banjir melanda negeri kita
tercinta.
Pertama, tentulah menyelamatkan diri dan keluarga, jika ada
barang-barang yang berharga bisa pula dibawa, selama tidak membuat kita kesulitan
berjalan di tengah banjir. Kemudian mengungsi ke daerah yang lebih tinggi dan
tidak terkena banjir.
Kedua, bertransmigrasi ke pulau seberang, mari kita isi
kekosongannya. Kalimantan itu pulau yang terancam direbut Malaysia. Sebagian
besar penduduk Kalimantan utara berpindah kewarganegaraan menjadi WNM. Apa
kalian rela? Ini yang disebut sambil menyelam minum air. Bosan kebanjiran?
Harga tanah di Kalimantan relatif lebih murah, bebas gempa, dan sangat terasa
sensasi pulau tropisnya. Di samping itu, kita juga bisa menjaga aset negara
yang satu ini. Saya sendiri pun ada rencana untuk bermigrasi ke sana.
Ketiga, pasrahkan saja, toh nantinya saat matahari muncul dari
timur perlahan air akan surut.
Jangan terlalu kaku, kalau memang
Jakarta adalah kampung halaman kalian, lalu kalian harus pindah ke Kalimantan,
bukan berarti kalian tidak bisa kembali lagi ke Jakarta. Lagi pula ini masih di
Indonesia. Jika tidak mau di Kalimantan masih ada Papua, Nusa tenggara,
Sulawesi dan pulau-pulau lainnya yang masih butuh penghuni. Indonesia ini bukan
hanya Jakarta, Jawa, Bali, dan Sumatra.
Jika kalian takut dengan apa yang
namanya kesulitan akses, maka kalian bisa gunakan apa yang namanya “ilmu”.
Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Untuk biaya, kalian bisa meminta bantuan
kepada investor, tunjukkan bakat bisnismu. Dengan begitu banjir teratasi,
Pulau-pulau sepi terlindungi, dan negeri ini bisa menjadi pesaingnya Amerika
Serikat.